Sebelum memimpin orang lain, kita harus terlebih dahulu mampu memimpin diri kita sendiri.
Kemampuan memimpin diri sendiri akan menjadi solusi bagi banyak permasalahan yang kita hadapi di pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Sukses ditandai dengan pencapaian 4-TA (KATA, CINTA, TAHTA, & HARTA) sedangkan kemuliaan ditandai dengan seberapa besar kita mampu memberi manfaat pada orang lain.
Sukses dan mulia adalah dua sisi dari satu keping mata uang yang sama. Keduanya tidak boleh dipisahkan. Kita memerlukan keduanya untuk menjalani kehidupan yang berarti dan memuaskan.
Seorang yang berani, bersedia melakukan sesuatu yang penting bagi kecemerlangan hidupnya, …
Meskipun dia belum berpengalaman
Meskipun dia tidak memiliki uang untuk itu
Meskipun banyak orang meragukan kesempatan keberhasilannya
Meskipun telah banyak orang gagal dalam upaya yang sama
Meskipun sama sekali tidak ada jaminan
Meskipun sebetulnya dia sangat ketakutan, dan
Meskipun lebih mungkin baginya untuk gagal.
atau
Hanya seseorang yang takut yang bisa bertindak berani.
Tanpa rasa takut itu - tidak ada apapun yang bisa disebut BERANI.
BEBERAPA YANG HARUS DIBENAHI DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM AKSELERASI DAN DAMPAKNYA
Karena anggapan atau pandangan yang salah dari pihak sekolah terhadap program ini, telah membuat kesalahan dalam pelaksanaannya. Harus kita akui masih ada sekolah yang menganggap program ini sebagai prestise dan sekedar mengangkap gengsi sekolah. Tidak mustahil anggapan ini benar adanya mengingat masih ada beberapa kekurangan dalam pelaksanaannya.
Beberapa kekurangan tersebut diantaranya :
1. Karena memandang sebagai program prestise, maka sekolah berusaha untuk terus memaksakan supaya program ini selalu ada di setiap tahun ajaran dengan jumlah siswa semaksimal mungkin. Kekosongan program ini dianggap sebagai sebuah kemunduran, padahal keberadaan program ini pada hakekatnya adalah sebagai bentuk layanan terhadap siswa yang memiliki kecerdasan luar biasa, sehingga keberadaannya sangat tergantung pada ada atau tidaknya siswa yang memiliki kemampuan intelektual diatas rata-rata.
Bahkan dalam kasus dimana jumlah siswanya relatif sedikit, misalnya 3 atau 5 orang, mungkin anak-anak ini akan lebih baik kalau dilayani bersamaan dengan kelas reguler dengan diberikan materi, tugas dan tantangan lebih ketimbang siswa lainnya sehingga tetap mampu mengikuti program belajar selama 2 tahun di SMP atau SMA. Hal ini karena apabila dipaksakan, secara proses kegiatan memisahkan siswa yang 5 orang atau kurang ke dalam satu kelas tidaklah efektif dan efisien.
Yang lebih parah lagi adalah, tidak mustahil ada sekolah yang kemudian melakukan berbagai hal untuk ”menggenapkan” jumlah sampai jumlah maksimal sekitar 20 orang bahkan lebih. Lantas ”kekurang sempurnaan” apa yang mungkin dilakukan sekolah dalam mencapai tujuannya tersebut?
Pertama, dengan menurunkan standar minimal bagi siswa untuk mengikuti program ini. Misalnya standar minimal IQ yang seharusnya minimal 130 skala Cettel diturunkan menjadi 120-125 dengan maksud untuk menambah jumlah siswa yang dapat mengikuti program akselerasi. Selain IQ, perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap indikator lainnya seperti Task Commitment dan Creativity Quotient. Atau merekayasa indikator lainnya, seperti hasil test akademis yang minimal 8 menjadi cukup hanya dengan angka 7 atau dengan tidak menjadikan track record (misalnya indeks raport) siswa selama di SD sebagai bahan pertimbangan.
Kekeliruan ini melahirkan anggapan bahwa program akselerasi sebagai program asal coba dan asal jadi yang membebani siswa dengan beban akademis yang tinggi dan tugas yang banyak. Padahal apabila proses penjaringan dan penyaringan berjalan sesuai aturan dan prosedur, maka siswa yang mengikuti program ini akan mampu mengikuti program ini dengan sangat-sangat baik.
Kedua, menawarkan pilihan kepada siswa atau orang tua untuk mengikuti program akselerasi atau tidak. Padahal program akselerasi bukanlah program pilihan karena program ini harus memenuhi standar yang telah baku dan bersifat menetap, yaitu IQ. Dengan menawarkan pilihan, maka dimungkinkan siswa yang tidak memenuhi standar IQ dapat mengikuti program ini selama memenuhi syarat “administrasi” kepada sekolah.
Kekeliruan ini kemudian membuat masyarakat menaruh curiga terhadap program akselerasi seolah menjadi ajang mengeruk dana dari orang tua yang memiliki kelebihan dana pendidikan.
2. Memberikan layanan pembelajaran yang tidak berbeda dengan layanan reguler. Kekeliruan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya keseriusan sekolah dalam mengelola akselerasi. Apabila sekolah memandang akselerasi hanya untuk mengingkatkan gengsi atau ajang promosi untuk menarik siswa saja, maka setelah PSB (penerimaan Siswa Baru) selesai dan tahun pelajaran dimulai maka sekolah menganggap perhatian terhadap program ini pun selesai dan diperlakukan sama dengan program lainnya. Faktor lainnya adalah kualitas dari Sumber Daya Manusia dari tenaga pendidik itu sendiri. Dengan tingkat tuntutan dan kecepatan yang tinggi, guru akselerasi dituntut untuk mampu terus mengembangkan berbagai inovasi dan kreatifitas dalam proses pembelajaran, dan untuk itu berarti berbanding lurus dengan sumber daya tenaga pendidik. Bila guru terlalu puas dengan metode yang telah dilakukan maka akan cenderung untuk stagnan dan berhenti untuk kreatif.
Padahal, dengan potensi yang dimiliki oleh siswa program akselerasi maka guru harus mampu menggali materi lebih luas dan lebih mendalam dengan memanfaatkan berbagai fasilitas dan sarana belajar yang tersedia, bahkan tidak mungkin guru melibatkan siswa secara langsung dalam menentukan materi, metode, sarana dan media pembelajaran.
Kekeliruan ini berdampak pada anggapan bahwa metode, proses, media, evaluasi hasil dan pembelajaran di akselerasi sama saja dengan program reguler dan tidak menjanjikan kelebihan atau keistimewaan lainnya selain pembelajaran yang dimampatkan menjadi dua tahun pada tingkatan SMA.
3. Progam akselerasi diperlakukan istimewa oleh sekolah khususnya dalam hal fasilitas dan sarana belajar sehingga menimbulkan kecemburuan dari siswa atau guru lainnya. Kembali kekeliruan ini ujung pangkalnya adalah kesalahan sekolah dalam memandang keberadaan program ini.
Dianggap sebagai icon atau simbol prestise maka sekolah memberikan beberapa keisitimewaan seperti fasilitas atau sarana belajar yang lebih lengkap di kelas akselerasi. Kesenjangan ini akan menimbulkan kecemburuan dari kelas lain yang merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama namun diperlakukan berbeda. Alasan sekolah melakukan keistimewaan juga bisa disebabkan karena alasan dana. Biasanya, disekolah tertentu karena siswa akselerasi dipungut biaya pendidikan lebih dari reguler maka sekolah menganggap bahwa penambahan fasilitas untuk kelas akselerasi menjadi sesuatu yang wajar, padahal tanpa fasilitas dan perlakukan yang berbeda sekalipun secara psikologis dan pergaulan siswa akselerasi bisa jadi telah merasa berbeda dengan kelas lainnya.
Dampak dari perbedaan perlakuan ini akan semakin memperdalam jurang perbedaan antar program dan akhirnya bisa menciptakan suasana belajar yang kurang kondusif bagi siswa.
SOLUSI
Perlu waktu dan kerja keras bagi penyelenggara program akselerasi di manapun untuk mampu membuktikan bahwa progam akselerasi memberikan kontribusi positif bagi pendidikan Indonesia, terlepas dari berbagai kekurangan yang ada. Berbagai wacana yang berkembang selama ini di berbagai media informasi telah mampu memberikan pencerahan, khususnya dari pihak yang selama ini kontra terhadap peyelenggaraan program akselerasi.
Ada beberapa solusi yang kami coba lemparkan untuk menjadi wacana lebih lanjut dan menjadi bahan diskusi semua pihak. Adapun beberapa solusi tersebut diantaranya adalah :
1. Membenahi pandangan atau paradigma dari sekolah dan masyarakat dalam memandang program akselerasi. Oleh karena itu maka sekolah penyelenggara akselerasi harus terus membenahi diri dalam pelaksanaan akselerasi sehingga tidak menimbulkan kesalahanpahaman dari masyarakat. Sekolah berada pada posisi sebagai ujung tombak pelaksanaan program ini, sehingga dituntut untuk membenahi diri dalam memandang keberadaan program akselerasi. Pandangan bahwa akselerasi hanya menjadi icon atau simbol dari status sekolah semata harus ditanggalkan dan diganti menjadi bentuk pengabdian dalam melayani siswa secara utuh dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Apabila sekolah memandang program ini sebagai bentuk layanan bagi siswa cerdas istimewa maka sekolah tidak akan main-main atau asal dalam menjalankan program ini karena manyangkut masa depan siswa dan pemenuhan hal mereka secara utuh. Setelah melakukan hal tersebut kami mengusulkan supaya sekolah penyelenggara akselerasi melakukan sosialisasi yang baik dan tepat tentang hakekat dan landasan penyelenggaraan program akselerasi. Hal ini bisa dilakukan terbatas yaitu kepada stakeholder pendidikan maupun secara umum melalui berbagai media yang tersedia. Misalnya kalau kita mencoba membuka internet dan mencari artikel atau tulisan seputar akselerasi, maka yang kita temukan banyak sekali yang bernada negatif atau kontra. Ini bukan semata kesalahan masyarakat, namun juga kekurangan sekolah dan pemerintah dalam mensosialisasikan program ini secara tepat dan baik. Begitu pun orang yang mengaku sebagai pakar pendidikan yang biasa bergulat dengan berbagai teori dan wacana tanpa mampu melihat pelaksanaannya secara lebih detil atau merata. Kekeliruan pelaksanaan progam di beberapa sekolah kemudian menjadi dalih atau alasan bagi mereka dalam menyatakan bahwa akselerasi tidak tepat, salah dan ngawur dalam mengakomodasi anak-anak yang memiliki kecerdasan superior atau cerdas istimewa. Sementara sekolah yang dinilai berhasil menyelenggarakan program ini cenderung menutup diri untuk berbagi pengalaman dan strategi pelaksanaan mereka kepada sekolah lain. Harus kita akui dan pahami bahwa akselerasi memangg bukan satu-satunya jenis layanan pada anak cerdas istimewa, namun yang harus dimengerti pula oleh masyarakat bahwa sekolah tidak dapat dengan mudah atau asal-asalan membuat sebuah inovasi layanan pendidikan karena menyangkut masalah legalitas dan kesinambungan program bagi siswa-siswa yang mengikuti program tersebut. Dan sampai saat ini, program yang relatif siap untuk itu adalah akselerasi. Oleh karena itulah maka kami senantiasa mengusullkan kepada pemerintah untuk juga memfasilitasi bentuk layanan lainnya. Melakukan proses rekruitmen yang benar-benar mengikuti aturan dan prosedur baku dan telah ditentukan oleh Dinas Pendidikan. Masalah yang dihadapi sekolah penyelenggara akselerasi dalam perjalanan proses pendidikan di kelas salah satu faktor yang sangat menentukannya adalah pada proses perekrutan. Apabila sekolah mencoba-coba bermain atau tidak serius dalam masalah perekrutan ini maka akan dapat dipastikan mengalami berbagai masalah perkembangan siswa didiknya, seperti ada siswa yang tidak kuat mengikuti proses pembelajaran dalam tingkat kecepatan yang tinggi atau masalah dalam perkembangan dan kematangan psikologis. Jadi apabila perekrutan dijalankan secara benar maka tidak akan kita temui siswa yang drop dan masuk ke kelas reguler karena pada hakekatnya mereka telah memiliki potensi yang baik.
2. Solusi untuk kekeliruan kedua, sekolah terus membenahi diri dalam meningkatkan sumber daya tenaga pendidik, minimal dalam pemahaman tentang karakteristik anak cerdas istimewa. Dengan demikian maka guru secara individual bisa melakukan perbaikan metode dan sarana pembelajaran secara mandiri. Pemahaman guru dan orang tua akan pentingnya layanan untuk anak cerdas istimewa ini akan sedikit demi sedikit mendorong perubahan ke arah lebih baik dalam pengelolaan akselerasi.
3. Solusi ketiga adalah tidak memperlakukan akselerasi secara berlebihan, kecuali dalam hal metode dan pendalaman materi. Perlakuan berbeda akan semakin membuat siswa akselerasi jauh dari lingkungan sekitarnya. Dan dana yang mungkin ditarik dari orang tua akselerasi bisa dimanfaatkan untuk menambah kualitas guru dengan mengadakan workshop atau seminar tentang anak-anak berbakat atau metode pengajaran yang tepat bagi mereka. (sumber - Asosiasi CI+BI)
0 komentar:
Posting Komentar